Yang Kekal menurut Ar-Razi

Lima yang Kekal menurut Ar-Razi
September, 2009 

Bahasan yang sebentar lagi anda simak hanya simak bukan baca ini adalah merupakan sambungan dari artikel yang ini.

Seperti yang sudah di singgung di artikel sebelumnya bahwa di samping Tuhan, Ar-Razi juga meyakini adanya sesuatu yang lain yang juga bersifat kekal /abadi dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir.

Doktrin Ar-Razi mengenai hal yang kekal abadi ini di kenal dengan “Lima yang Kekal”. Lima yang Kekal itu menurut Ar-Razi adalah : Tuhan, Jiwa Universal/Roh, Materi Pertama, Ruang Absolut dan Waktu Absolut.

Dua dari lima kekal itu menurutnya bersifat hidup dan aktif yaitu Tuhan dan Roh. Satu yang lainnya bersifat tidak hidup dan pasif yaitu Materi, dan dua sisanya bersifat tidak hidup, tidak aktif dan tidak juga pasif yaitu Ruang Absolut dan Waktu Absolut.

A. Tuhan, Roh dan Materi
Sebenarnya mengenai Kekekalan Tuhan ini Ar-Razi tak pernah mengajukan pembuktian apa pun. Itulah sebabnya pernyataan ini lebih mendekati sebagai pernyataan aksiomatik ketimbang empirik dari Ar-Razi.

Itulah sebabnya disini (meskipun sifat Materi dengan Tuhan dan terutama Roh berbeda) saya satukan saja pembahasannya karena justru di bab Materi inilah saya banyak menemukan pembahasan tentang Roh. 

Menurut Ar-Razi materi adalah kekal karenacreatio ex nihilo (penciptaan dari tiada) merupakan hal yang tak mungkin kalau tidak disebut mengada-ada. Keabadian materi dapat didemonstrasikan dengan dua cara yaitu yang pertama; penciptaan, yaitu tindakan materi yang sedang dalam pembentukan, mensyaratkan (adanya) bukan saja seorang pencipta yang telah mendahuluinya, tetapi juga sebuah substratum atau materi dimana tindakan
Itu melekat. Salah satu contoh yang diajukan Ar-Razi tentang kekekalan materi adalah bahwa Tuhan tidak menciptakan semua hal dari tiada, dan salah satunya adalah tentang penciptaan dunia ini. Dunia menurut pendapatnya diciptakan dari materi tanpa bentuk dan bukan dari abra kadabra. Nah, materi tanpa bentuk yang menjadi bahan pembuatan dunia inilah yang kemudian diyakini telah ada bersama Tuhan yang juga tak berawal itu. Jadi, karena Tuhan kekal maka bisa dipastikan bahwa materi juga kekal.

Meskipun materi itu kekal, bukan berarti alam juga kekal. Alam tidak kekal, karena seperti halnya tubuh, alam pun bisa hancur. Nah ketika alam dan tubuh ini hancur maka materi dan roh kemudian akan kembali ke asalnya semula.

Jika keadan ini kemudian ditarik kepada masalah adanya surga-neraka yang juga diyakini keberadaannya oleh Ar-Razi, maka setelah Roh bersih (setelah melewati masa loundry yang menyakitkan) maka sang roh ini akan kembali ke asalnya semula yaitu di surga sono, berbaur dengan materi semula.

Ruang Absolut dan Waktu Absolut
Mengenai hal ini Ar-Razi membuat perbedaan antara Zaman absolut dan Zaman terbatas, yaitu antara ad dahr (duration) dan al waqt (time). Yang pertama kekal, dalam arti tidak bermula dan tidak pula berakhir, tak dapat diukur dan tak terbatas. Sedang yang kedua sebagai sesuatu yang dapat diukur dan terbatas serta disifati oleh angka-angka.

Untuk memahami waktu absolut yang sama sekali lepas dari alam semesta yang diciptakan dan geraknya, menurut Ar-Razi kita harus sama sekali meninggalkan gerak segenap langit dan timbul tenggelam matahari dan planet-planet untuk kemudian memusatkan perhatian kepada konsep murni tentang gerak keabadian yang baginya sama dengan waktu absolut tadi. Dalam hal ini, waktu absolut disamakan dengan perulangan abadi, yang mendahului timbulnya waktu particular, dan dengan penciptaan dunia yang terjadi berbarengan dengan gerakan segenap langit.

Mengenai kenapa Ruang pun dianggap kekal ini berkaitan dengan konsep materi, yaitu bahwa materi memerlukan sebuah locus tempat ia berada yakni ruang. Nah, karena materi itu kekal maka dengan sendirinya ruang pun ikut kekal.

Dan karena sifat ruang adalah sebagai yang tidak tergantung kepada tubuh dan ukuran (dimensi), maka oleh karenanya ruang ini tidak terbatas dan lagi kekal.

Senin, 02 November 2009

JADAL DALAM AL-QURAN

JADAL DALAM AL-QUR`ÂN
DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDIDIKAN

Abstrak
Tulisan ini, melihat persoalan di sekitar jadal al-Qur`ân. Jadal al-Qur`ân ialah pengungkapan dalil untuk mengalahkan orang kafir dan para penantangnya melalui pembuktian atas kebenaran yang dapat diterima nurani manusia. Tujuan Jadal al-Qur`ân diantaranya menjelaskan permasalahan secara argumantatif bagi kalangan yang memang sungguh-sungguh ingin mendapat kejelasan. Adapun signifikansi jJadal al-Qur`ân dapat membantu menghampiri kebenaran kandungan, khususnya ayat-ayat yang bermuatan jadal, yang pernah terjadi di antara berbagai kalangan yang terekam di dalam al-Qur`ân. Akan lebih memudahkan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân. Bagi pendidikan, jadal memiliki pengaruh kuat. Sebab, di samping manusia sebagai makhluk yang thabi’iyah, juga rational dan emossional sekaligus. Sehingga dengan Jadal manusia akan lebih mudah dapat memahami dan kemudian diarahkan untuk mencapai tujuan Pendidikan, mengembangkan manusia menjadi cerdas secara rasio-emosi-spiritual, dan anggun dalam iman, ilmu dan perilaku.

Kata Kunci: Jadal, al-Qur`ân, metode, penafsiran, pendidikan

I. Pendahuluan
Al-Qur`ân adalah petunjuk bagi manusia, yang sekaligus dengannya manusia dapat membedakan antara yang haq dengan yang bathil, yang salah dan yang benar. Ia juga dapat sebagai obat dan rahmat bagi manusia pada umumnya dan khususnya yang beriman. Dalam waktu yang sama, al-Qur`ân adalah merupakan Mu’jizat terbesar dan abadi bagi Rasulullah Muhammad Saw. Ia merupakan mukjizat ruhiyah yang bersifat rasional dan spiritual sekaligus, sehingga menarik umtuk di diperhatikan oleh orang yang mempunyai hati dan pikiran.
Al-Qur`ân – kata Syekh Muhammad ‘Abduh – mengandung berita bangsa-bangsa silam yang dapat dijadikan contoh perbandingan bagi umat sekarang dan yang akan datang, ia memuat berita pilihan yang dipastikan kebenarannya. al-Qur`ân menceritakan hikayat para Nabi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi antara mereka dengan umatnya. Ia juga mensyari’atkan kepada manusia hukum-hukum yang sangat cocok dengan kemaslahatan kehidupan mereka.
Sejalan dengan keyakinan ‘Abduh itu, Nashr menegaskan pula bahwa :
Al-Qur`ân berisi petunjuk bagi manusia agar ia mampu memenuhi janjinya kepada Tuhan. Karenanya al-Qur`ân menjadi pusat kehidupan Islam. Al-Qur`ân adalah dunia di mana seorang muslim hidup. Ketika ia dilahirkan, di telinganya dibisikkan syahadat yang terdapat dalam al-Qur`ân. Ia mempelajari al-Qur`ân sejak ia mulai bisa berbicara. Ia mengulangnya setiap hari dalam shalat. Ia dinikahkan melalui pembacaan al-Qur`ân. Dan ketika ia mati dibacakan al-Qur`ân kepadanya. Al-Qur`ân adalah serat yang membentuk tenunan kehidupannya, ayat-ayat al-Qur`ân adalah benang yang menjadi rajutan jiwanya.

Dalam membicarakan al-Qur`ân sebagai petunjuk, Nasr memahami kandungannya dalam tiga klasifikasi : Pertama : “doktrin” yang memberi pengetahuan terhadap struktur kenyataan dan posisi manusia di dalamnya. Doktrin itu berisi petunjuk moral dan hukum yang menjadi dasar syari’at yang mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Doktrin itu juga mengandung metapisika tentang Tuhan, kosmologi atau alam semesta serta kedudukan berbagai makhluk dan benda di dalamnya, dan pembahasan kehidupan di akhirat. Kedua : al-Qur`ân berisi petunjuk yang menyerupai ringkasan sejarah manusia, rakyat biasa, raja-raja, orang-orang suci, dan para Nabi sepanjang zaman dan segala cobaan yang menimpa mereka. Meskipun petunjuk ini berupa sejarah, sebenarnya ia ditujukan pada jiwa manusia di sini dan sekarang, meskipun ia mengambil tempat dan waktu yang telah lalu. Ketiga : al-Qur`ân berisi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dalam bahasa modern. Sesuatu itu dapat disebut “magi” yang agung, bukan dalam arti harfiah, melainkan dalam arti metafisis. Ayat al-Qur`ân, karena diturunkan oleh Tuhan, mengandung kekuatan yang berbeda dari apa yang kita pelajari dalam al-Qur`ân secara rasional. Ayat-ayat itu menyerupai ‘azimat yang melindungi manusia. Itulah sebabnya mengapa kehadiran fisis dari al-Qur`ân sendiri membawa berkah bagi manusia. Apabila seorang muslim menghadapi kesulitan ia membaca ayat-ayat al-Qur`ân tertentu yang menenangkan dan menghibur hatinya.
Baik dalam posisinya sebagai yang mengandung petunjuk yang bersifat doktrinal, historis dan sublim di satu sisi, maupun sebagai mukjizat abadi yang bersifat ruhiyah, rasional dan spiritual sekaligus di sisi lainnya, al-Qur`ân memerlukan prosedur, mekanisme dan kiat tertentu untuk dapat memahami atau mendekati pemahaman terhadapnya.
Dalam kerangka itu, telah berbilang jumlah dan berbagai ragam tafsir dan Ulum al-Qur`ân yang dihasilkan para ulama dan cendekiawan sampai saat ini . Namun, kandungan al-Qur`ân masih tetap bagai tak terusik, sebab memang kandungannya itu jauh melampaui kemampuan manusia untuk menyelaminya. Di samping manusia yang selalu berupaya menghampiri pemahaman terhadap al-Qur`ân itu sejak awal turunnya, tidak sedikit juga yang sebaliknya, yang berupaya menjauhi bahkan membantah apa yang dikandung al-Qur`ân. Seperti dijelaskan sendiri dalam Q.,s. al Kahfi/18: 54 yamg terjemahnya “Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah”.
Mengapa manusia bisa dan suka/banyak membantah? Menurut analisis Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur’an bahwa :
Karena setiap sesuatu di alam semesta ini bertingkah laku sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditentukan kepadanya – secara otomatis mentaati perintah Allah – maka keseluruhan alam semesta ini adalah muslim atau tunduk kepada kehendak Allah. Manusia adalah satu-satunya ciptaan Allah yang memiliki kebebasan untuk mentaati atau mengingkari (membantah perintah-Nya). (Q.,s.al Syams/91: 7-10).

Berbagai upaya dalam membantah kebenaran al-Qur`ân, dilakukan manusia sejak masa turunnya, namun selalu kandas. Sebab bantahan al-Qur`ân selalu lebih kuat. Kekuatan bantahan al-Qur`ân ini, antara lain adalah dalam kedudukan uslub bahasa nya yang juga bermuatan mu’jizat. Menurut al Zarqani bahwa di antara kemukjizatan al-Qur`ân terdapat pada “kefasihan lafadznya serta keindahan uslubnya yang tidak bisa ditandingi.” Pembicaraan di sekitar bantah membantah dalam al-Qur`ân itulah yang kemudian dalam disiplin ‘Ulum al-Qur`ân dikenal dengan istilah Jadal al-Qur`ân.
Tulisan ini, akan mencoba melihat permasalahan di sekitar Jadal al-Qur`ân tersebut, meliputi: pengertian Jadal, macam dan topiknya, tujuan dan metodenya, perannya dalam penafsiran al-Qur`ân serta pengaruhnya terhadap pendidikan.

II. Pengertian Jadal Al-Qur`ân
Al-Qur`ân menyebut kata Jadal dalam berbagai bentuknya sebanyak 29 kali. Lokus pemuatannya tersebar pada 16 Surat dalam 27 ayat yakni pada surah: al-Nisaa/4: 109 dan Huud/11: 32 masing-masing dua kali; al-Baqarah/2: 197; kemuadian pada al-Nisaa/4: 107; al-An’aam/6: 121, 125; al-A’raf/7: 71; al-Anfaal/8: 6; Huud/11: 74; al-Ra’d/13: 13; al-Nahl/16: 111, 125; al-Kahfi/18: 54, 56; al-Hajj/22: 3, 8, 68; al-Anka buut/29: 46; Luqmaan/31: 20; Ghaafir/40: 5, 4, 25, 56, 69; al-Syuura/42: 35; al-Zukhruf/43: 58; al-Mujaadalah/58: 1 masing-masing satu kali. Dalam bahasa Indonesia, Jadal dapat dipadankan dengan debat. Debat adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Jadal atau Jidal dalam bahasa Arab dapat dipahami sebagai ”perbantahan dalam suatu permusuhan yang sengit dan berusaha memenangkannya.”
Sebagai suatu istilah, Jadal adalah saling bertukar pikiran atau pendapat dengan jalan masing-masing berusaha berargumen dalam rangka untuk memenangkan pikiran atau pendapatnya dalam suatu perdebatan yang sengit. Berbagai batasan pengertian tentang Jadal dirumuskan para ulama, namun pada dasarnya mengacu pada perdebatan serta usaha menunjukkan kebenaran atau membela kebenaran yang ditujunya dengan berbagai macam argumentasi. Dari definisi-definisi yang ada bila hendak dibuatkan rambu-rambu, maka itu antara lain adalah (1) Hendaknya dengan jalan yang dapat diterima atau terpuji, (2) Diniati untuk mendapat dalil/argumen yang lebih kuat, (3) Untuk menunjukkan aliran/mazhab serta kebenarannya.
Dengan rambu yang demikian itu, para pihak yang terlibat dalam jadal memang tidak harus saling membenci, walaupun pada dasarnya sulit menghidari suasana saling bermusuhan. Sebab, sebagian dari watak dasar manusia adalah memang suka membantah atau berbantah-bantahan, bahkan Tuhannya pun dibantah. (Q.,s. al Kahfi/18 : 54). Kenapa demikian? Sebab manusia memang memiliki potensi/kebebasan untuk itu, yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lainnya (lihat catatan nomor 10). Untungnya kita punya pedoman yaitu al-Qur`ân yang menganjurkan jika hendak berbantahan, maka berbantahanlah dengan cara yang terbaik.
Istilah yang dapat dipandang sebagai padanan daripada istilah Jadal adalah al Munazharah, al Muhawarah, al Munaqasyah dan al Mubahatsah. Istilah-istilah tersebut dapat dipandang sepadan, sebab pada dasarnya mengacu pada tujuan yang sama yakni untuk menjelaskan dan kejelasan sesuatu permasalahan. Hanya saja Jadal lebih menekankan kemenangan, dan pada saat yang sama kekalahan bagi pihak lawan debat. Munazharah merupakan kegiatan dimana dua orang saling mengemukakan pemikiran, masing-masing bertujuan membenarkan pemikirannya serta menyalahkan pemikiran lawan (debat)nya dengan jalan saling mencoba menguji pembuktian dalam upaya mencari/menampakkan kebenaran. Adapun muhawarah mengacu pada pembicaraan dimana di dalamnya ada dialog/tanya jawab dengan sopan yang bertujuan hampir sama saja dengan Jadal. Tentang munaqasyah dan mubahatsah hampir sama saja. Khususnya tentang Jadal dan muhawarah, di dalam al-Qur`ân terdapat ayat yang di dalamnya digunakan kedua istilah tersebut, yaitu pada surah Q.,s. al Mujadalah ayat pertama.
Adapun al-Qur`ân secara etimologis berarti “bacaan”, dan secara terminologis adalah Kalam Allah SWT. Yang merupakan mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhamad SAW. dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ‘ibadah. Sedangkan yang dimaksud Jadal al-Qur`ân adalah pembuktian-pembuktian serta pengungkapan dalil-dalil yang terkandung di dalamnya, untuk dihadapkan pada orang-orang kafir dan mematahkan argumentasi para penentang dengan seluruh tujuan dan maksud mereka, sehingga kebenaran ajaran-Nya dapat diterima dan melekat di hati manusia.

III. Macam dan Topik Jadal al-Qur`ân
Secara umum, Jadal al-Qur`ân dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama : Jadal yang terpuji (al Jadal al Mamduh) adalah suatu debat yang dilandasi niat yang ikhlash dan murni dengan cara-cara yang damai untuk mencari dan menemukan kebaikan dan kebenaran. Ulama membolehkan debat dengan maksud untuk menjelaskan syari’at dan membuktikan kesahalan lawan dengan alasan-alasan dan pembuktian yang benar, tentunya dengan cara yang baik. Hal tersebut dapat didasarkan pada firman Allah yang terjemahnya sebagai berikut :
Serulah (manusia) kejalan Tuhan mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka (wajaadilhum) dengan cara yang lebih baik (Q.,s. al Nahl/16 : 125).
Dan jangan kamu berdebat (walaa tujaadil) dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka (Q.,s. al ‘Ankabuut/29 : 46).

Sebagai contoh dari Jadal jenis ini dapat dilihat pada ayat yang terjemahnya sebagai berikut :
Maka tatkala datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata “mengapakah tidak diberikan kepadanya (Muhammad) seperti yang telah diberikan kepada Musa dahulu?” dan bukanlah mereka itu telah ingkar (juga) kepada apa yang diberikan kepada Musa dahulu? Mereka dahulu telah berkata : Musa dan Harun adalah dua orang ahli sihir yang bantu-membantu”. Dan mereka (juga) berkata : “Sesungguhnya kami tidak mempercayai masing-masing mereka itu”. Katakanlah : “Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan al-Qur`ân) niscaya aku mengikutinya, jika kamu sungguh orang-orang yang benar.” Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.” (Q.,s. al Qashash/28 : 48-50).

Kedua: Jadal yang tercela (al Jadal al Mazdmum), adalah setiap debat yang menonjolkan kebathilan atau dukungan atas kebathilan itu. Tentang tercelanya debat yang bathil ini banyak dasarnya dari Al Kitab maupun al Sunnah dan pendapat kaum Salaf. Di antara dasarnya dari al Kitab adalah ayat yang terjemahnya sebagai berikut:
Dan tidaklah Kami mengutus rosul-rosul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang bathil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan-peringatan terhadap mereka sebagai olok-olok (Q.,s. al Kahfi/18 : 56).
Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap (Q.,s. al Anbiya’/21 : 18).

Jadal al Mazdmum itu ada yang dilakukan dalam bentuk debat tanpa landasan keilmuan seperti disinyalir dalam Q.,s. al Hajj/22: 3, yang terjemahnya “di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaithan yang sangat jahat”, dan ayat 8 yang tertejamhnya “Dan diatnara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya”. Juga dapat dilhat contoh Jadal model tersebut pada Q.s., al Mu’minun: 71 dan Q., s. Lukman: 20. Ada pula Jadal al Mazdmum dalam bentuk dukungan atas kebathilan setelah tampak kebenaran seperti dalam Q.,s. al Mukmin/40: 5 yang terjemahnya “dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu.”
Adapun mengenai terma (maudlu’) dalam Jadal al-Qur`ân, cukup banyak tersebar dalam berbagai surah dan ayah al-Qur`ân. Al Almaa’iy mengkategorikannya ke dalam enam kelompok terma (nama dan nomor surat dan ayat di dalam kurung adalah di antara contoh jadal dalam terma bersangkutan), yakni : (1) Jadal dalam penetapan wujud Allah (Q.,s. al Jaatsiyah/45 : 24-28), (2) Jadal tentang penetapan Keesaan Allah (Q.,s. al Anbiya’/21 : 22), (3) Jadal tentang Penetapan Risalah (Q.,s. Nuh/71 : 1-3), (4) Jadal tentang Kebangkitan dan Pembalasan (Q.,s. al Mu’minun/23 : 81-83 dan Q.,s. Qaaf/50 : 12-15), (5) Jadal tentang Tasyri’at (Q.,s. al Nahl/16 : 36 & Q.,s. al Anbiya’/21 : 25), (6) Jadal tentang aneka tema lainnya, seperti: (a) Jadal Bani Adam (Q.,s. al Maidah/5 : 27-31), (b) Jadal Ibrahim a.s. tentang kaum Luth (Q.,s. Hud/11 : 74-76), © Jadal antara Musa dan Hidlir a.s (Q.,s. alKahfi/18 : 60-72), (d) Jadal antar orang shabar yang miskin dan orang kafir yang kaya (Q.,s. al Kahfi/18 : 32-43), (e) Jadal Keluarga Fir’aun yang beiman dengan kaumnya (Q.,s. al Mu’minun/23 : 27-40), (f) Jadal Yahudi dan Nasrani tentang Ibrahim a.s. (Q.,s. Ali Imran/3 : 65-68), (g) Jadal Munfiqin dengan Mu’minin (Q.,s. al Baqarah/2 : 11-14). Di antara sekian maudlu’ Jadal dalam al-Qur`ân– menurut analisis Al Almaa’iy – terma yang pertama dan kedua yakni tentang Wujud dan Keesaan Allah yang paling banyak mendapat sorotan.
Dengan menggunakan kerangka jenis/macam Jadal yang dikemukakan ter dahulu, bila dicermati secara baik, tentunya dapat diduga dari contoh-contoh tersebut di atas, mana yang tergolong Jadal yang mamduh dan mana yang mazdmum.
IV. Tujuan dan Metode Jadal
Jadal al-Qur`ân memiliki berbagai tujuan, yang dapat ditangkap dari ayat-ayat al-Qur`ân yang mengandung atau yang bernuansa Jadal, di antaranya adalah :
Sebagai jawaban atau untuk mengungkapkan kehendak Allah dalam rangka penetapan dan pembenaran aqidah dan qaidah syari’ah dari persoalan-persoalan yang dibawa dan dihadapi para Rasul, Nabi dan orang-orang shaleh. Sekaligus sebagai bukti-bukti dan dalil-dalil yang dapat mematahkan dakwaan dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kalangan umat manusia, sehingga menjadi jelas jalan dan petunjuk ke arah yang benar. Jadal dengan tujuan seperti ini dapat dicermati contohnya mengenai dialog Nabi Musa a.s. dengan Fir’aun (Q.,s. al- Syu’araa’/26: 10-51).
Sebagai layanan dialog bagi kalangan yang memang benar-benar ingin tahu, ingin mengkaji sesuatu persoalan secara nalar yang rasional , atau melalui ibarat maupun melalui do’a. Dari dialog-dialog tersebut, kemudian hasilnya dapat dijadikan pegangan, nasehat dan semacamnya. Untuk tujuan seperti ini dapat dijadikan contohnya adalah penjelasan Allah SWT. atas persoalan kegelisahan Naabin Ibrahim a.s. yang ingin menambah keyakinannya dan ketenangannya dengan mengetahui bagaimana Allah menghidupkan makhluk-Nya yang telah mati (Q.,s. al Baqarah/2 : 260, juga dapat dilihat pada ayat 30 surat yang sama sebagai contoh lainnya.
Untuk menangkis dan melemahkan argumentasi-argumentasi orang kafir yang sering mengajukan pertanyaan atau permasalahan dengan jalan menyembunyikan kebenaran yang memang disinyalir dalam al-Qur`ân Wajaadiluu bi al Baathil liyudhiduu bihi al haq (Q.,h. al Mukmin/40 : 5). Sebagai contoh Jadal dengan tujuan seperti ini bisa dilihat dalam Q.,s. al Mukminun/23 : 81-83 dan Q.,s. Qaaf/50 : 12-15 serta Q.,s. Yaasiin/36 : 78-79.
Adapun mengenai metode yang ditempuh Jadal al-Qur`ân, para ulama pada dasarnya sama saja, walaupun secara tehnis ada perbedaan dalam mengelompokkan apakah suatu jadal dalam al-Qur`ân termasuk metode atau macam/jenis dari jadal tersebut. Yang dimasukkan ke dalam macam-macam Jadal al-Qur`ân oleh Abu Zahrah dan Al Qaththan umpamanya, oleh Al Almaa’iy sebagiannya dimasukkan ke dalam metode Jadal al-Qur`ân. Dalam tulisan ini, kedua kecenderungannya tersebut digabung dalam pembahasan tentang prosedur yang ditempuh dalam Jadal al-Qur`ân, yakni:
Al Ta’rifat.
Bahwa Allah SWT secara langsung memperkenalkan diri-Nya dan ciptaan-Nya sebagai pembuktian akan wujud dan ke Maha Kuasaan-Nya. Karena Allah tidak terjangkau oleh indera manusia, maka dengan mengungkapkan hal-hal yang bisa ditangkap indera manusia, manusia akan mampu memahami akan wujud dan kekuasaan Sang Maha Kuasa. Hal inilah yang antara lain dapat dipahami dari firman Allah seperti tertera pada Q.,s. al An’am/6: 95-100, tentunya banyak contoh yang lainnya tentang hal ini.
Al Istifham al-Taqriri
Dalam bentuk ini Allah mengajukan pertanyaan langsung dengan penetapan jawaban atasnya. Pertanyaan tentang hal yang memang sudah nyata, diangkat lagi lalu disertai dengan jawaban yang merupakan penetapan atas kebenaran yang sudah pasti. Prosedur ini dipandang oleh para ahli Ulum al-Qur`ân sebagai yang ampuh sekali sebab dapat langsung membatalkan jidal atau argumen para pembantah. Sebagai contohnya dapat disebut antara lain firman-Nya dalam Q.,S. Yaasiin/ 36 : 81-82.
Al Tajzi’at
Dengan prosedur ini Allah mengungkapkan bagian-bagian dari suatu totalitas, secara khirarchis atau kronologis, yang sekaligus menjadi sebagai argumentasi dialektis untuk melemahkan lawan dan menetapkan suatu kebenaran. Masing-masing dapat berdiri sendiri sebagai bukti/untuk membuktikan kebenaran yang dimaksudkan. Prosedur jadal seperti ini nampak antara lain dalam Q.,S. Al Naml/27 : 54-64.
Qiyas al Khalf
Dalam bahasa Indonesia disebut “analogi berbalik”. Dengan prosedur ini, kebenaran ditetapkan dengan membatalkan pendapat lawan yang berbalikan/ berlawanan. Sebab dalam realitas kehidupan tidak dapat berkumpul dua hal yang berlawanan. Tentang metode Jadal seperti ini dapat disebut firman Allah dalam Q.,s. al Anbiya’/21 : 21-22.
Al Tamtsil
Allah mengungkapkan perumpamaan bagi suatu hal. Dengan perumpamaan dimaksudkan agar suatu kebenaran dapat dipahami secara lebih cepat dan lebih mudah, lalu lebih melekat di sanubari “lawan”. Untuk ini antara lain dapat disebut sebagai contoh adalah firman-Nya pada Q.,s. al Baqarah/2 : 259.
Al Muqabalat
Al Muqabalat adalah mempertentangkan dua hal yang salah satunya memiliki efek yang jauh lebih besar dibanding dengan yang lainnya. Seperti halnya mempertentangkan antara Allah SWT dengan berhala yang disembah orang-orang musyrik. Contoh Jadal al-Qur`ân dalam prosedur seperti ini dapat dilihat antara lain pada Q.s. al Waqi’ah/56: 57-59. Demikian itulah antara lain prosedur dan metode yang ditempuh al-Qur`ân dalam Jadal atau Metode Jadal al-Qur`ân.

V. Peranan Jadal dalam Penafsiran al-Qur`ân dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan
Al-Qur`ân – seperti pengibaratan pada kata hikmah spiritual Al Rumi – bagaikan wajah pengantin wanita yang memakai cadar. Rahasia keindahannya tersembunyi di balik cadarnya. Yang berkehendak menangkap “keindahan” itu, hendaknya “tahu dan mengerti caranya”. Al-Qur`ân adalah “kitab petunjuk” untuk keselamatan. Petunjuk Al Qur’an bermuatan lengkap, namun dalam beraneka nuansa, yang tidak semua orang dapat menyentuh semuanya, bahkan mungkin tidak banyak, kalau bukan malah tidak ada yang dapat mejangkau semuanya. Seperti juga dipaparkan dalam pendahuluan, bahwa al-Qur`ân, memuat di dalamnya petunjuk yang bernuansa doktrinal, historis dan sublim. Di samping semuanya itu, Al-Qur`ân adalah mukjizat al Kubra yang abadi bagi Rasul Saw, yang bersifat ruhiyah, rasional, dan spiritual sekaligus. Untuk dapat masuk ke dalam “nuansa” al-Qur`ân dalam kerangka pemahaman atas kandungannya, tentunya bukanlah hal yang mudah. Harus tahu caranya. Di antara yang dapat dipandang sebagai “cara” masuk itu, adalah memahami celah dari sisi kemukjizatannya, yaitu keindahan dan ketinggian gaya bahasa (uslubnya). Di sinilah (boleh jadi) letak signifikansi pemahaman tentang Jadal al-Qur`ân, dimana Jadal merupakan satu dari tanda ketinggian uslub al-Qur`ân.
Memahami Jadal al-Qur`ân, dapat berarti mempermudah jalan dalam menghampiri dan menangkap pemahaman yang benar atas dialog (jadal, munazharah, muhawarah) yang pernah terjadi dan tertera dalam Al-Qur`ân, baik di antara Allah dengan Malaikat atau dengan Nabi, atau di kalangan para Nabi dengan kaumnya, di kalangan orang-orang shalih yang mulia, atau antar perorangan di kalangan Bani Adam dalam berbagai suasana dan kondisi. Bila demikian, maka dapat berarti Jadal al-Qur`ân berperan kuat dalam penafsiran al-Qur`ân.
Dengan memahami Jadal al-Qur`ân, dapat juga dipahami bahwa al-Qur`ân sungguh-sungguh tidak menghendaki adanya “debat kusir”, debat yang kosong dari nilai manfaat dan kebenaran. Al-Qur`ân hanya menghendaki Jadal yang “mamduh” (wajaadilhum bi allati hiya ahsan dan atau wa laa tujadiluu bi al bathil)). Dengan memahami Jadal al-Qur`ân dengan lebih mudah pula dapat dipahami hakekat kebenaran yang lebih haqiqi dari hal atau hal-hal yang menjadi objek jadal dalam al-Qur`ân. Lagi pula Jadal al-Qur`ân tidak sama dengan manthiq Yunani (Logica Hellenica).
Adapun konteks kependidikan, pengaruh Jadal dapat dipahami dalam kerangka pendidikan sebagai proses pemanusian manusia. Atau dalam kerangka membuat manusia menjadi makhluk yang memiliki budaya yang tinggi, yang selaras dengan citra penciptaannya yang paling bagus (fi ahsani takwim Q.,s. al Tin/95 : 4), dan dalam kapasitas yang multi dimensi, yakni secara thabiiyah merupakan “psycho and physical entity”, yang punya nurani, ratio, raga dan rasa secara bersamaan, pendidikan, memerlukan berbagai macam kiat dan metode untuk dapat mencapai tujuannya.
Fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional di Indonesia dirumuskan sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Masa Esa, berkahlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam pendidikan Islam, pendidikan akhlak merupakan “Ruh” pendidikan secara keseluruhan. Mencapai akhlak yang mulia adalah obsesi haqiqiyah dari pada tujuan pendidikan Islam. Untuk maksud itu, upaya/proses pembinaan akhlak dan pendidikan kejiwaan adalah dasar yang paling asasi daripada tujuan yang harus dicapai dalam Pendidikan Islam. Untuk dapat mencapai tujuan seperti itu, tentunya tidak mudah. Diperlukan berbagai sarana, fasilitas, dukungan kebijakan politik dan dana yang tidak kecil, waktu yang tidak pendek, dan kualitas SDM yang baik serta metode yang handal.
Dari sekian banyak metode yang dikenal selama ini, khususnya dalam melayani sisi manusia yang rational dan emossional, kiat diskusi, tanya jawab, bantah membantah, dialog, seminar, polemik dan semacamnya, yang dalam kerangka al-Qur`ân dapat dipahami sebagai Jadal, masih menempati posisi strategis, dan karenanya masih tetap relevan dan efektif, khususnya Jadal yang mamduh.
Jadal dalam al-Qur`ân, seperti yang terjadi antara Ibrahim dengan Allah (Q.,s. al Baqarah/2: 560 atau antara Ibrahim dengan kaumnya seperti dalam Q.,s. al Anbiya’/21 : 51-71; Q.,s. al Syu’ara’/26: 69-82, adalah merupakan contoh yang baik sekali dalam peristiwa dialogis yang dimaksudkan sebagai metode mencari dan membawa peserta didik kepada pencapaian kebenaran. Bahkan secara lebih rinci dapat dipahami bahwa dialog-dialog (jadal) dalam al-Qur`ân banyak sekali di antaranya yang bersifat dan mengarah pada model dialog deduktif, di mana deduksi merupakan suatu metoda pemikiran logis yang amat bermanfaat dalam dunia pendidikan. Demikian pula halnya dengan tamsil dan ibarat yang banyak digunakan dalam Jadal al-Qur`ân, memberi peluang bagi pendidik untuk dapat menjelaskan konsep-konsep abstrak dengan makna-makna kongkrit, yang dapat ditangkap oleh persepsi manusia, yang pada gilirannya membawanya pada pemahaman tentang sesuatu secara benar dan tentang kebenaran itu sendiri.
Jadal, munadharah ataupun muhawarah dapat berfungsi sebagai arena pengujian kemampuan – dalam skalanya yang lebih tehnis. Di sini keilmiahan dan keilmuan peserta yang terlibat akan bisa terlihat dan bisa dibandingkan dengan yang lainnya. Seseorang akan diakui sebagai ilmuwan yang terdidik bila ia mampu melakukan dialog atau debat (yang mamduh – pen) dalam bidangnya dengan ilmuwan terdidik yang lainnya.
Ibnu Khaldun memandang munadharah – sesuai kutipan Al Abrosyi – sebagai sesuatu yang sangat membantu dalam hal pengajaran dan pendidikan, terutama untuk dapat memahami aspek ilmiah dari tamsil dan ibarat. Sementara Al Abrosyi juga memandang munadharah, muhawarah dan sejenisnya dalam mendekati setiap permasalahan, akan dapat mempengaruhi jiwa pihak si terdidik untuk menjadi lebih matang, dan sangat berpengaruh dalam membina kebebasan dan kekuatan berfikir.
Hal mana pada gilirannya, secara akumulatif, akan dapat membawa dan mengantarkan manusia untuk selalu mampu berproses ke arah peningkatan diri menjadi manusia-manusia yang cerdas, beriman dan bertaqwa serta berakhlaq dengan akhlaq yang mulia. Insya Allah. 

VI. Kesimpulan
Jadal adalah debat, dialog antar dua pihak dengan kehendak untuk menang melalui alasan dan argumentasi. Jadal al-Qur`ân ialah pengungkapan bukti-bukti dan dalil-dalil dengan tujuan untuk mengalahkan orang kafir dan para penantang sekaligus untuk menegakkan aqidah dan syari’ah, melalui pembuktian atas kebenaran yang dapat diterima oleh nurani manusia.
2. Jadal, ada yang mamduh dan ada pula yang mazdmum, dengan landasan dan contohnya masing-masing di dalam al-Qur`ân. Jadal dalam al-Qur`ân, dilihat dari pelaku dan hal yang dipersoalkan, menyangkut space and time yang sangat luas. Pernah terjadi antara Allah dengan Malaikat, dengan para Nabi, Nabi dengan kaumnya atau penentangnya, orang perorang di kalangan Bani Adam, dari dulu sampai dengan masa al-Qur`ân diturunkan. Bahkan model-model jadal yang tergambar dalam al-Qur`ân, di antaranya masih belangsung sampai sekarang. Demikian pula hal yang dipersoalkan dalam Jadal hampir menyangkut keseluruhan dimensi kehidupan manusia, bahkan setelah kehidupan yang sekarang.
Tujuan dari Jadal al-Qur`ân antara lain untuk menetapkan aqidah tentang wujud dan wahdaniyah Allah serta petunjuk dan syari’ah bagi yang membutuhkan. Menjelaskan permasalahan secara argumantatif bagi kalangan yang memang sungguh-sungguh ingin mendapat kejelasan. Serta untuk mematahkan pembangkangan para penentang dengan pembuktian yang lebih kuat dan akurat, dengan berbagai tehnis pendekatan seperti : al Ta’rifat, al Istifham al Taqriri, al Tajzi’at, Qiyas al Khalf, al Tamsil dan al Muqabalat.
Jadal al-Qur`ân, dengan memahaminya dapat membantu menghampiri kebenaran kandungan, khususnya ayat-ayat yang bermuatan Jadal, yang pernah terjadi di antara berbagai kalangan yang terekam di dalam al-Qur`ân. Dengan memahami Jadal al-Qur`ân, akan lebih memudahkan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân. Bagi pendidikan, jelas Jadal memiliki pengaruh kuat. Sebab, di samping manusia sebagai makhluk yang thabi’iyah, juga rational dan emossional sekaligus. Sehingga dengan Jadal manusia akan lebih mudah dapat diarahkan untuk mencapai tujuan Pendidikan; mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, membina manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia.

GHAZWUL FIKRI

Ghazwul Fikri
Selasa, 2 November 2009


Ghazwul fikri berasal dari kata ghazw dan al-fikr, yang secara harfiah dapat diartikan "Perang Pemikiran". Yang dimaksud ialah upaya-upaya gencar pihak musuh-musuh Allah subhanahu wata’ala untuk meracuni pikiran umat Islam agar umat Islam jauh dari Islam, lalu akhirnya membenci Islam, dan pada tingkat akhir Islam diharapkan habis sampai ke akar-akarnya. Upaya ini telah berlangsung sejak lama dan terus berlanjut hingga kini. 

Ghazwul fikri dimulai ketika kaum salib dikalahkan dalam sembilan kali peperangan besar. Kemenangan kaum muslimin tersebut sangat spektakuler, sebab pasukan muslim yang diterjunkan dalam pertempuran berjumlah sedikit. Pasukan Khalid bin Walid, misalnya pernah berperang dengan jumlah tentara sekitar 3000 personil, sedangkan pasukan Romawi yang dihadapi berjumlah 100.000 personil, hampir 1 berbanding 35. Allah memenangkan kaum muslimin dalam pertempuran tersebut. Kekalahan demi kekalahan itu akhirnya menyebabkan kaum salib menciptakan taktik baru. Di bawah pimpinan Raja Louis XI, taktik baru tersebut dilancarkan. Caranya bukan lagi berupa penyerangan fisik, tetapi musuh-musuh Allah itu mengirimkan putera-putera terbaik mereka ke kota Makkah untuk mempelajari Islam. Niat atau motivasi mereka tentu bukan untuk mengamalkan, melainkan untuk menghancurkannya. Pembelajaran dengan niat jahat itu ternyata berhasil. Tafsir dikuasai, hadist dimengerti, khazanah ilmu Islam digali. Setelah sampai ke tahap dan tingkat ahli, para pembelajar Islam dari kaum Salib ini kembali ke Eropa, lalu membentuk semacam Research and Development (Penelitian dan Pengembangan) untuk mengetahui kelemahan umat Islam agar dapat mereka kuasai. 

Kesungguhan mereka dalam mempelajari Islam tersebut memang luar biasa. Sampai dalam sejarah diungkapkan kisah seorang pembelajar Islam dari kaum salib yang rela meninggalkan anak istrinya hanya untuk berkeliling ke negeri-negeri Islam guna mencari kelemahan negeri-negeri Islam itu. Di antara pernyataan mereka ialah, "Percuma kita berperang melawan umat Islam selama mereka berpegang teguh pada agama mereka. Jika komitmen mereka terhadap agama mereka kuat, kita tidak dapat berbuat apa-apa. Oleh karena itu, tugas kita sebetulnya adalah menjauhkan umat Islam dari agama mereka, barulah kita mudah mengalahkan mereka.” Gleed Stones, mantan perdana menteri Inggris, juga mengatakan hal yang sama, "Percuma memerangi umat Islam, kita tidak akan mampu menguasainya selama di dada pemuda-pemuda Islam al-Qur'an masih bergelora. Tugas kita kini adalah mencabut al-Qur'an hati mereka, baru kita akan menang dan menguasai mereka.” 

Dalam konteks ini, al-Qur'an mengatakan, artinya, "Sesungguhnya setan bagi kamu merupakan musuh, maka perlakukanlah ia sebagai musuh. Sesungguhnya setan itu mengajak hizb (golongan) nya agar mereka menjadi penghuni neraka." (QS.Faathir : 6). 

Setan yang merupakan musuh umat Islam itu, menurut ayat 112 surat al-An'aam bukan hanya dari kalangan jin dan Iblis saja, tetapi juga dari kalangan manusia. Setan-setan manusia itu dahulu menghina dan memojokkan serta melecehkan Islam melalui lisan mereka dengan cara sederhana tanpa dukungan hasil teknologi canggih. Tetapi kini, penghinaan dan pemojokan serta pelecehan itu dilakukan dengan pers yang mempergunakan sarana modern yang super canggih. Di sisi lain, musuh-musuh Islam berupa setan manusia itu hebat dan licik. Struktur-struktur dan lembaga-lembaga Internasional, baik politik, mau pun ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, militer dan bidang-bidang penting lainnya hampir seluruhnya berada dalam genggaman mereka. Makanya perputaran roda organisasi dan lembaga-lembaga dunia itu sepenuhnya dapat mereka kendalikan secara sangat sistematis dan akurat tanpa disadari oleh mayoritas umat Islam, yang sebagiannya masih sangat lugu dan belum tersentuh oleh da'wah. Dalam bidang komunikasi, khususnya pers, misalnya, hampir seluruh sumber berita berada dalam 'tangan' mereka, baik yang berskala internasional maupun nasional. 

Maka tak dapat dibantah bahwa media massa yang didominasi atau dikuasai oleh kalangan yang anti Islam, yang melihat Islam sebagai ancaman bagi kepentingan politik dan ekonomi mereka, missi yang mereka emban tentu merugikan dan memojok kan Islam. Misalnya berupaya agar masyarakat dunia (terutama kalangan elitnya) membenci Islam dan menjauhinya, serta menanamkan keraguan dalam dada kaum muslimin akan kebenaran dan urgensi Islam di dalam hidup. 

Keadaan ini diperburuk lagi oleh kenyataan bahwa di kalangan umat Islam, penguasaan terhadap ilmu komunikasi dan jurnalistik hingga saat ini masih jauh dari memadai. 'Ulama dan orang-orang yang betul betul faham akan Islam secara benar dan kaffah, pada umumnya jarang yang menjadi jurnalis atau penulis. Apa lagi menerbitkan koran atau majalah yang benar-benar membawa misi dakwah dan perjuangan Islam. Sebaliknya wartawan dan penulis yang beragama Islam, termasuk yang berkaliber internasional yang mempunyai semangat sekali pun, banyak yang belum atau tidak memahami Islam secara benar dan kaaffah (totalitas). Artinya, upaya umat Islam meng-counter serangan musuh-musuh Allah itu nyaris tak ada. 

Di sisi lain, pers yang diterbitkan orang Islam banyak yang tidak memperjuangkan dan membela Islam, bahkan terkadang menurunkan berita yang memojokkan Islam. Sebab masih tergantung kepada kantor-kantor berita barat/kafir, yang memang selalu memburu berita yang sifatnya merugikan Islam. Padahal berita dari mereka menurut cara yang islami, harus terlebih dahulu ditabayyun (diseleksi), kalau tidak, bisa berbahaya bagi umat Islam. Namun untuk melakukan tabayyun, diperlukan pemahaman Islam yang benar dan universal serta penguasaan jurnalistik yang akurat dengan peralatan canggih. Sementara terhadap kedua hal itu para penulis Muslim belum betul-betul menguasainya secara baik. Ini salah satu di antara kelemahan-kelemahan dan keterbelakangan kita, umat Islam. 

Al-Qur'an memberitahukan bahwa Nabi Sulaiman ’alaihis salam pernah menda'wahi ratu negeri Saba' melalui tulisan (berupa sepucuk surat khusus), yang akhirnya ternyata berhasil gemilang dengan masuk Islamnya sang ratu. Kalau korespondensi da'wah sederhana antara Nabi Sulaiman 'alaihis salam dengan ratu Saba' ini boleh dikatakan termasuk bagian dari pers secara sederhana, maka pers dalam arti yang sempit berarti telah eksis pada zaman Nabi-nabi dahulu. Bukan hanya Nabi Sulaiman ’alaihis salam, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam pun dalam menda'wahkan Islam kepada raja-raja dan para penguasa suatu negeri pada zamannya, di antaranya mempergunakan tulisan berupa surat yang sederhana, tanpa dukungan hasil teknologi canggih seperti yang dikenal dunia pers kini. 

Dalam dunia modern kini, pers ternyata menempati posisi sangat penting, antara lain, dapat membentuk opini umat. Bahkan sering dikatakan bahwa siapa menguasai pers, berarti dapat menguasai dunia. Kalau yang menguasai pers itu orang mukmin, yang benar-benar faham akan dakwah dan memang merupakan Da'i (dalam arti luas), maka pers yang diterbitkannya tentu tidak akan menurunkan tulisan-tulisan yang merugikan Islam, memojokkan kaum Muslim atau menyakitkan umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam. Tetapi kenyataan membuktikan, di dunia ini, tak sedikit pers yang menurunkan aneka bentuk tulisan yang substansi isinya bukan hanya memojokkan Islam dan menyakitkan hati kaum mu'min serta melecehkan al-Qur'an, tetapi lebih lagi dari hanya sekedar itu. Dan keadaan bisa bertambah buruk lagi, kalau para pemimpin umat Islam bukannya memihak Islam, tetapi justru memihak dan membela musuh-musuh Allah subhanahu wata’ala. Na'udzu billaah min dzaalik! 

Dahulu, para penjajah menyerang kaum Muslimin dengan senjata bom, meriam dan peluru, dan serangan itu hingga kini sebetulnya masih tetap berlangsung. Hanya yang dijadikan sasaran bukan lagi jasmani, tetapi aqidah ummat Islam. Salah satu tujuannya ialah bagaimana agar fikrah (ideologi) atau 'aqidah umat Islam rusak. Tujuan paling akhir ialah bagaimana agar Islam dan umat Islam berhasil dihabisi riwayatnya dari bumi Allah subhanahu wata’ala ini. Serangan inilah yang disebut ghazwul fikr. Dan senjata yang dipergunakan bukan lagi bom atau peluru tetapi surat kabar, majalah, radio, televisi dan media-media massa lainnya, baik cetak mau pun elektronik, baik yang sederhana, mau pun yang super canggih. Untuk mengantisipasi atau mengimbangi serbuan ghazwul fikr (perang ideologi) itu, umat Islam antara lain harus mempunyai pers yang tangguh, yang dikelola oleh para Ulama dan jurnalis Muslim yang betul-betul faham Islam secara benar; dengan peralatan dan sarana teknologi yang memadai dan mampu menampilkan tulisan dan berita yang benar serta baik secara menarik dan bijaksana. 

Tulisan-tulisan yang diturunkan atau diproduksinya tentu harus menarik dan akurat bermisi Islam, agar dapat memberikan pemahaman tentang al-Islam yang benar kepada pembacanya, dan sekaligus diharapkan dapat meredam dan mengantisipasi serbuan pers sekuler,terutama yang tak henti-hentinya menyerang Islam dengan berbagai cara. 

Satu hal lagi yang tidak boleh kita dilupakan adalah, munculnya musuh-musuh Islam dari dalam tubuh ummat Islam sendiri tanpa kita sadari. Misalnya adanya 'tokoh' Islam yang diberi predikat Kiyai Haji atau profesor doktor, yang konotasinya pembela Islam, sehingga dikira umat Islam, ia memang pembela Islam, padahal sebaliknya, termasuk dalam hal ini Jaringan Islam Liberal (JIL). Sebetulnya, ini merupakan cerita lama, sebab sejak zaman Nabi-nabi dahulu, selalu ada saja manusia-manusia yang mengaku Muslim, tetapi pada hakikatnya merongrong atau merusak bahkan menghancurkan Islam dari dalam. Kadang-kadang menimbulkan perpecahan di kalangan kaum Muslimin. Sebagian mereka mengaku beragama Islam, namun takut (phobi) kalau Islam berkembang dan eksis di muka bumi Allah subhanahu wata’ala yang fana ini. Kalau mereka menerbitkan buku, koran, majalah, tabloid dan sejenisnya, mereka takut menulis tentang Islam. Kalau pun toh menulis juga, isinya tentu dipoles, direkayasa sedemikian rupa, sehingga tidak mengungkapkan kenyataan yang harus diungkapkan, dan menyampai kan apa-apa yang seharusnya disampaikan. Na'udzu billaah min dzaalik! Mereka laksana musuh dalam selimut, menggunting dalam lipatan. 

Mudah-mudahan Allah memberi kita kemampuan untuk menyeleksi bahan bacaan serta memilih media informasi yang kita dengar dan saksikan setiap hari. Dan yang tak kalah penting, semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan hati kita cinta terhadap Islam dan selalu menda'wahkan dan memperjuangkannya, sampai akhirnya Dia memanggil kita ke sisi-Nya selama-lamanya.